Translate

Senin, 25 Juli 2016

Tradisi makan ala Bajamba di tanah Sunda



Peluh bercucuran membasahi sekujur tubuhnya. Sesekali ia mengusap muka dengan baju kaos yang baru dipakainya. Dengan hanya kaos dalam, ia dengan santainya duduk merapat bersama pada hadirin yang lain. Seakan tak khawatir  dengan gelar burket disandangkan pada dirinya karena hanya mengenakan kaos kutang, ia justru langsung menyuap nasi dan lauk-pauk yang digelar di atas daun di depannya.

Undangan sudah banyak yang hadir, namun beberapa guru masih ditunggu kedatangan mereka.

HAMBALANG (Persbiro): Hari itu, Minggu 24 Juli 2016, para guru SMK berkumpul di sekolah untuk mengadakan rapat guna membahas teknis pembagian tugas penyusunan administrasi seperti yang disyaratkan silabus.

Acara yang sedianya dijadwalkan dimulai pukul 08.00 WIB pagi itu, akhirnya molor hingga dua jam karena beberapa tendik (tenaga pendidik) honorer lainnya belum datang.

Sambil menunggu, ada yang berinisiatif membersihkan lapangan, memotong rumput dan memindahkan bebatuan ke lahan kosong yang tak ada rerumputannya.

Mungkin karena begitu bersemangatnya memotong rumput, Pak Hayen, demikian panggilannya, asyik melibas rerumputan tak peduli suara-suara lain, karena hedfon terpasang di kepalanya. Bahkan, penampilannya itu dilengkapi dengan kacamata hitam gaya alias reiben.

Rapat baru bisa dimulai pukul 10.00 WIB, dan seperti biasa, penuh dengan berbagai wacana dan rencana, diselingi canda tawa dan sedikit perdebatan segala.

Menjelang siang, rapat dihentikan untuk istirahat makan siang dan sholat zuhur. Sejumlah murid yang sedari pagi sudah kerja bakti menyiapkan makan siang, mulai mondar-mandir di luar ruang rapat, seakan memberi isyarat, makan siang sudah siap.

Akhirnya diputuskan, makan siang dulu dengan asumsi agar sholatnya bisa lebih khusyuk karena perut sudah tidak keroncongan.

Di luar perkiraan saya, ternyata makan siang disajikan tidak ala French dinner (prasmanan) melainkan mirip seperti tradisi Makan Bajamba di Minangkabau.

Hanya saja, kali ini Makan Bajamba-nya tidak digelar di Sumbar, tapi di wilayah Jabar alias tanah Sunda.

Menurut catatan Persbiro, Desa Hambalang masuk dalam kawasan rencana pemekaran Kabupaten Bogor menjadi Bogor Timur. Ia berada dalam lingkup kecamatan Citeureup yang eksit tolnya menyatu dengan Cibinong.

Kawasan itu, dalam masterplan “Greater Jakarta & Cianjur” merupakan zona strategis di masa depan dan rencananya akan dilewati LRT untuk rute Bogor, Cibinong, Citeureup hingga ke Jakarta Utara, terutama Tanjung Priok, selain Bekasi Timur yang kini infrastrukturnya mulai dikerjakan.

Jadi jangan heran, kalau di Cibinong kini sedang dibangun apartemen pencakar langit karena kawasan ini dianggap titik strategis perluasan wilayah Jabodetabek dengan sasaran kawasan lumbung padi yakni, Cianjur, seiring dibangunnya rute Puncak Dua yang menghubungkan Bogor Timur dengan Cianjur dan Bekasi.

Sejak menetap di Hambalang, ini merupakan pengalaman Makan Bajamba yang kedua kalinya. Pertama kali terjadi tahun lalu, ketika masyarakat se-RT bergotong-royong menyangga pinggir kali yang longsor akibat hujan deras dengan menyusun bebatuan.

Kala itu, Makan Bajamba diprakarsai oleh para santri yang mondok dekat pinggir kali yang mengalami longsor tersebut.

Ada sedikit persamaan menu dari kedua momen ala Makan Bajamba itu, yakni goreng jengkol yang diiris-iris dan ikan teri. 

Mungkin karena dianggap saya dari Kota tak terbiasa dengan tradisi setempat, Kepala Sekolah, Pak Juju sempat melontarkan kata-kata, “Kita makan seadanya saja Pak Ali, nggak pakai piring, cukup di atas daun saja.”

Setelah melihat sajian yang terhidang di hadapan, saya langsung menjawab dengan spontan, “Justru yang seperti ini yang value-nya lebih tinggi, Pak. Mantap ini.”

Karena sempitnya waktu, saya tidak sempat secara oral menjelaskan bahwa sebetulnya Makan Bajamba adalah tradisi yang mengakar di kampung Ibu saya, Sumatera Barat sana.

Bedanya, di sana yang dibolehkan ikut Makan Bajamba hanyalah mereka yang sudah berumah tangga, sementara yang ini semua melebur dalam satu sajian, termasuk para guru dan murid SMK yang hadir.

Di Minangkabau, Makan Bajamba diyakini sebagai salah satu cara untuk mendekatkan hubungan emosional satu sama lain di tengah masyarakat.

Di sini, makan ala bajamba sepertinya lebih menimbang kepada faktor efisiensi. Namun semangat kebersamaan yang diusungnya relatif sama.

Dua tahun menghuni pondok di desa ini, Minggu pagi itu saya terbangun sudah menjadi guru di satu SMK.  Experience value yang luar biasa! Jangan tanya honornya berapa. Yang penting, ada!.


Ali Cestar
0821-55315751

Penulis adalah seorang tenaga pendidik honorer di SMK Almurqoniyah, Hambalang, Citeureup, Bogor.

 
Guru dan murid melebur dalam kebersamaan makan siang bersama (ber-jamba)

Anes, termasuk salah seorang murid kelas XI yang terkenal rajin membantu dewan guru dalam banyak kesempatan.

Penyesuain silabus dan administrasi belajar mengajar menjadi hal yang paling serius dibahas

Pak Emoh, salah seorang guru, sedang mempertontonkan cara memegang empat batu sekaligus.

Rev dan Met, siswa kelas XI asyik memindahkan puing dan kayu dari lapangan rumput
Pak Hayen, seorang guru SMK, dengan headphone dan rayban di jidatnya bergaya menunjukkan cara memotong dengan mesin pemotong rumput.
Pak Hayen boleh jadi lupa bahwa yang di hadapannya adalah makan siang bersama dan tetap berkaos kutang saat bersantap siang, sehingga dicandaain dengan istilah 'ada yang netes dari burket.'