Translate

Jumat, 28 Agustus 2015

Kisah nyata: hampir 20 tahun melawan jebakan farmasi



Di saat rakyat Indonesia merasakan 70 tahun kemerdekaan RI dengan berbagai kegiatan dan perlombaan, Alec justru tak leluasa bergerak ke mana-mana.

Pada hari itu, persendian jempol dan tumit kakinya terserang asam urat yang disertai pembengkakan. Sakitnya minta ampun!

Karena itu Alec bertekad, jika pulih ia akan  menuliskan pengalamannya berjuang melepaskan diri dari apa yang ia sebut lebih sebagai “pharmaceutical trap” ketimbang “ketergantungan obat” sebagaimana yang sering dipropagandakan oleh praktisi medis terutama untuk penyakit serius yang berkaitan jantung dan stroke seperti darah tinggi atau hipertensi.

Dengan harapan, jangan sampai ada lagi anggota masyarakat yang terjurumus ke dalam lobang jebakan yang sama, yakni “harus makan obat (kimia farmasi) seumur hidup” dengan dalih untuk meminimalkan risiko yang lebih besar seperti stroke, gagal ginjal, dan lain-lain.

Ketika naskah ini ditulis, Alec sudah bisa kembali berjalan , meski pada saat menapak masih terasa agak nyeri. Alec sempat dua minggu berjalan ngesot di dalam rumah menggunakan skateboard.

Sampai tetangga sempat memanggilnya dengan sebutan “Mister Ngesot.” (terinspirasi dari satu judul filem nasional yang sempat hits, “Suster Ngesot”)

Pada minggu ketiga Alec sudah bisa berjalan, meski dibantu sebilah kayu sebagai tongkat.

Saat ini Alec sudah mulai kembali berjalan tanpa tongkat, meski belum optimal seperti mengangkut jerigen dari mata air di dekat pondok yang ia huni, satu-satunya spot yang tetap mengalirkan air meski kemarau panjang.

Mata air yang juga jadi andalan warga se-RT saat selang-selang air mereka kering dan tidak mengalir.

Latar belakang

Bermula pada 1997 tatkala Alec tak bisa menatap layar monitor PC tempat ia bekeja dengan sempurna. Serasa, ratusan jarum halus menusuk-nusuk bola matanya. 


Tak nyaman dengan kondisi itu, iapun memeriksakan diri ke dokter praktek di belakang kantornya yang waktu itu berada di bilangan Slipi.

Kata dokter, Alec positif mengidap hipertensi dan jantungnya mulai membesar dan jika dibiarkan akan terjadi pembengkakan jantung yang serius dan membahayakan jiwa.

“Mulai detik ini bapak harus makan obat seumur hidup,” kata dokter berwajah oriental itu sembari menyerahkan sejumlah pil dalam bungkusan.

Makan obat seumur hidup? Vonis yang kedengarannya seperti petir di siang bolong. Maksudnya tentu baik, untuk meminimalkan risiko yang lebih besar dan membahayakan, yakni serangan jantung!

Pada hari itu juga Alec meluncur ke satu tempat di kawasan Petamburan, di mana dijual sepeda-sepeda sport bekas yang harganya miring. Sembari mengayuh sepeda pulang ke rumah, obat yang diberi dokter tadi, ia buang ke selokan.

Alec bertekad, akan mengganti keteledoran gaya hidupnya selama ini dengan rajin-rajin berolahraga, salah satunya dengan bersepeda, termasuk “bike to work.”

Tidak mudah menyusutkan badan yang kadung melar hingga 90-an kilogram ke berat ideal 65 kg. Setelah 10 tahun berkutat dengan olahraga sepeda, sepak bola dan badminton, bobot badan Alec akhirnya bisa menyusut hingga 78 kg. Dan, masih jauh dari ideal.

Sejak 2007, Alec menghentikan kegiatan sepakbola dan bersepedanya dan lebih banyak fokus ke badminton semata. Dan, alhamdulillah, ia sehat-sehat saja.

Hingga, 2013 ketika ia mulai melupakan pola makan dan gaya hidup yang sehat, hipertensi itu datang lagi. Kali ini dengan gejala yang berbeda, yakni sesak napas di bagian dada yang sangat mengganggu sekali.

Saat diperiksa ke klinik terdekat, tensi Alec tercatat 230 per 110. Dokter yang memeriksa sempat pucat-pasi dan segera membuat rujukan untuk dirawat di RS. “Buruan Pak ke rumah sakit, sebelum semaput di sini,” kata dokter wanita itu.

Butuh empat hari rawat inap untuk bisa menormalkan kembali tensi darah Alec. Sepulang dari RS, Alec berjalan oleng seperti terkena disorientasi. Seperrtinya, ia telah menjadi kelinci percobaan obat baru dari Sang Dokter.

Setelah seminggu di rumah, Alec kontrol lagi ke RS bersangkutan karena memang diharuskan oleh dokter yang bersangkutan.

Tatkala istrinya bertanya, “Kok suami saya jadi mengalami disorientasi gitu,. Dok?”  Sang Dokter dengan entengnya menjawab, “Salah obat, Buk. Obatnya nggak cocok sama dia.”

Meski dalam kondisi disorientasi, Alec sempat menyumpah dalam hati, dokter apa ini? Menjadikan pasiennya sendiri sebagai kelinci percobaan?

Akhirnya obatnya pun diganti dengan jenis generik.

Selang tiga bulan sejak pergantian obat paten ke obat generik, disorientasi Alec mulai hilang. Ia sudah mulai stabil, bahkan mengendarai sepeda motor ke seantero Kota Depok, aman-aman saja.

Sama dengan pesan dokter yang pertama pada 1997, dokter kali ini, kebetulan ia seorang ahli jantung dan psikiatris, juga mewajibkan “makan obat seumur hidup.”

“Tapi aman nggak Dok terhadap ginjal? Ada efek samping yang serius nggak?” tanya Alec saat kontrol di bulan ketiga.

“Sejauh ini sih aman-aman saja. Dibanding risikonya, rutin minum obat anti-hipertensi tetap yang paling dianjurkan,” katanya sembari menambahkan, setelah kontrol per 3 bulan, kontrol selanjutnya adalah per 6 bulan dan per tahun.

Pada saat itu, obat hipertensi yang dikonsumsi Alec sesuai resep dokter adalah, V-Bloc (obat paten dan mahal dan termasuk obat andalan RS dan Sang Dokter), Spirolonactone dan Amlodipine. Dua jenis terakhir adalah generik dan terbilang murah.

Lebih kurang selama tiga bulan Alec disiplin mengkonsumsi ketiga jenis obat itu. Pada bulan ke empat, V-Bloc mulai ditinggalkan karena sejak pindah ke Hambalang, obat paten itu sulit didapatkan di apotik-apotik terdekat.

Alhasil, selama satu tahun taktis Alec hanya mengandalkan Spirolonacton 25 mg (1 x sehari) dan Amlodipine 5 mg (2 x sehari). Dan selama itu, fisiknya bugar-bugar saja.

Apalagi sejak awal tahun 2015, Alec berhenti merokok, sehingga tingkat kebugaran tubuhnya berlipat ganda. Sampai ia berpikir untuk menghentikan saja konsumsi obat rutin tersebut. Namun untuk benar-benar berhenti, iapun tak berani.

Membawa air dengan jerigen dari mata air dengan rute menanjak, merupakan rutinitas sehari-hari untuk menjaga kebugaran jasmaniah, sebelum asam urat itu datang

Mendobrak mitos
 
Dalam kondisi dilematis, Ramadhan pun tiba. Saat yang tepat untuk refreshment jasmani dan rohani, batin Alec. Iapun bertekad ibadah yang ia jalani selama Ramadhan tahun ini harus jauh lebih dari tahun lalu.

Biasanya, keadaan seseorang setahun ke depan ditentukan dari kualitas ibadahnya selama Ramadhan. Harapan Alec, agar Tuhan memudahkan ia mencari jalan untuk mendobrak mitos yang menyebutkan bahwa penderita hipertensi harus makan obat (kimia farmasi) seumur hidup,

Hanya Tuhan yang berhak menilai kualitas ibadah hamba-hamba-Nya. Kita hanya bisa tahu output-nya dari tanda-tanda dan fenomena yang terjadi di sekitar kita sebagai jawaban atas doa.

Saat Lebaran di Sumedang kemarin, tanpa sengaja mata Alec tertumbuk pada buku yang tergeletak di lantai kamar (lihat gambar).

Judulnya cukup merangsang keingintahuan pembaca, “Air. Anda tidak sakit. Anda hanya kekurangan air.”

Sebuah karya anti-thesis melawan mitos-mitos yang berlaku dalam dunia kedokteran moderen dari seorang dokter terkemuka asal Iran & mendapat sambutan luas oleh publik di AS.

Penulisnya seorang dokter yang pernah ditugaskan di rumah-rumah tahanan untuk merawat para penghuni sel-sel panjara di Iran.

Jawaban itu akhirnya datang.

Dokter itu, lewat buku tersebut membantah bulat-bulat bahwa hipertensi esensial sebagai satu penyakit bawaan bahkan keturunan seperti anggapan paramedis selama ini. 

Menurutnya, hipertensi, apapun jenisnya, tak lain adalah salah satu bentuk efek dari dehidrasi (kekurangan air) pada tubuh.

Di sinilah nilai pendobrakan yang selama ini dicari-cari Alec. Ternyata obat hipertensi itu sendiri adalah kontradiksi dengan penyebab penyakit tersebut. Dokter yang mendobrak tradisi kedokteran itu sendiri.

Maksudnya begini. Obat farmasi bekerja menghambat masuknya air dan mineral ke dalam darah dan  mengarahkannya langsung ke saluran ekskresi (pembuangan). Cara ini di dunia medis disebut dengan diuretik.

Nah, apabila volume air dalam darah berkurang, kekuatan pempompaan (potential pumping) darahpun jadi melemah sehingga tekanan darah menurun.

Cara diuretik menggunakan obat kimia farmasi seperti itu dalam buku itu dinilai sebagai “solusi semu” karena tak menyentuh akar persoalan hipertensi itu sendiri, dan justru memperparah hipertensi itu sendiri untuk jangka lama, yakni karena dehidrasi pada dinding-dinding sel yang menyebabkan banyak sel-sel yang mati, bukannya ber regenerasi.

Menurut buku itu, dengan obat kimia farmasi, hipertensi tidak akan pernah bisa terobati, justru semakin menjadi-jadi dan lambat laun akan merusak ke sel-sel tubuh yang lain yang berkaitan, termasuk hati, ginjal, pankreas, paru-paru, dan lain-lain.

Sementara diuretik yang ditawarkan buku itu justru lebih alami, yakni dengan mengguyur (flush) dinding-dinding pembuluh darah hingga ginjal dan pencernaan dengan air putih (hanya air putih!) dan memastikan bahwa tidak ada sel-sel tubuh yang mengalami dehidrasi.

Selama ini kita menyangka bahwa salah satu gejala dehidrasi adalah rasa haus atau kering di bibir. Padahal, ketika rasa haus menyerang dan bibir terasa kering, tubuh sudah dehidrasi berlangsung cukup lama dan sejumlah sel sudah mulai mati.

Bagi Alec, solusi yang ditawarkan buku itu sangat masuk akal, Paling tidak, kalaupun harus mengkonsumsi obat kimia farmasi, minum air putih sebanyak mungkin bisa meminimalisir risiko obat farmasi seperti kerusakan pada ginjal.

Iseng berbuah bencana

Sepulang dari Sumedang, Alec sudah bertekad ingin menghentikan konsumsi obat-obatan hipertensi yang selama ini ia minum dan menggantinya dengan asupan air putih, kalau bisa yang tingkat basanya tinggi (alkaline), atau dikenal dengan sebutan Kangen (baca: "kan gen") Water, seperti yang diperkenalkan oleh seorang ipar.

Sebelum memutuskan berhenti total tak ada salahnya berkonsultasi dengan Sang Dokter, batin Alec,

Dan iapun kontrol ke RS yang sama setelah setahun tidak bertemu dengan dokter spesialis jantung dan psikiatris tersebut.

Setelah berdiskusi beberapa saat, termasuk perubahan kebugaran yang Alec rasakan sejak itu berhenti merokok, Sang Dokter, seperti biasa, meresepkan obat hipertensi.

Hanya saja, karena Alec sekarang tinggal cukup jauh dari perkotaan, obatnya diganti dengan yang sangat-sangat generik. 

Musibah itu bermula di sini. Ternyata salah satu obat generik tersebut membawa efek samping penumpukan asam urat.

Pada saat kontrol, dokter berpesan agar kembali kontrol seminggu lagi, a.l. untuk melihat efek obat pada pasien karena efek samping obat pada tiap orang berbeda-beda.

Alec sudah bertekad, apapun dalih kedokteran yang dipakai, ia  hanya akan meminum obat itu hanya sampai jumlah yang diresepkan (seminggu) habis.

Dari ketiga jenis obat hipertensi itu ada satu yang paling murah, dan sengaja dibeli agak lebih banyak, untuk pemakaian sebulan yaitu Hydrochlorothiazide atau lazim dikenal dengan HTC.

Artinya, Alec tetap ingin menghentikannya, tapi  secara bertahap.

Celakanya, HTC ini ternyata membawa efek samping berupa penumpukan asam urat yang juga bisa memberatkan kerja ginjal.   

Sayangnya, efek samping HTC ini tak banyak dipublikasikan baik dalam bentuk jurnal obat maupun testimoni pasien.

Atau, Sang Dokter sudah bisa membaca gelagat Alec untuk menghentikan pengobatan dan sengaja memberikan resep pamungkas yang membuat pasien terpaksa terus bolak-balik menjadi customer tetap rumah sakit.

Seperti prinsip bisnis berbasis jasa jaman sekarang, “Mempertahankan satu pelanggan yang sudah ada jauh lebih berharga daripada mencari 10 pelanggan baru.”

Whateva…

Memasuki minggu kedua,  dua obat generik yang pertama yakni Valsartan dan Propanolol sudah habis karena memang dibeli sesuai jumlah yang diresepkan, sementara HTC masih tetap jalan karena harganya jauh lebih murah dan belinya sengaja dilebihkan.

Menjelang akhir minggu kedua, gejala asam urat mulai terasa.

Saat shalat, jempol kaki sulit ditekuk dan terasa sakit jika dipaksakan. Makin lama makin merah, dan terjadi pembengkakan. Pada saat itu, Alec terpaksa berhenti mengambil air jernih pakai jerigen dari mata air, yang menjadi olahraga rutinnya sehari-hari.

Asam urat tak ada hubungan dengan urat. Ia adalah hasil terjemahan sesuai EYD dari uric acid, yaitu sejenis zat asam yang dihasilkan tubuh yang tidak bisa dicegah ginjal masuk ke pembuluh darah sehingga menumpuk di bagian persendian dalam bentuk kristal.

Kristalisasi asam urat itulah yang menyebabkan persendian menjadi merah, bengkak dan sakit sehingga sulit untuk digerakkan.

Dan jika dibiarkan, lambat laun akan memicu terjadinya pengapuran tulang (osteoporosis). Oleh karena itu, asam urat masuk kategori penyakit degeneratif.

Penyebab utama asam urat yang paling umum adalah jero-jeroan, gorengan dan makanan yang mengandung kacang-kacangan dalam jumlah yang melampaui kebutuhan tubuh.

Masalahnya, hampir dua tahun terakhir, Alec hampir tak pernah makan jeroan, gorengan sama sekali.

Bisa dipastikan, munculnya asam urat karena efek samping dari HTC, salah satu obat yang diresepkan Sang Dokter.

Pertanyaannya, mungkinkan seorang professional seperti ahli jantung tak tahu tentang efek samping dari obat yang ia resepkan? Atau ada maksud-maksud lain? Wallahu ‘alam.

Tapi yang jelas, kejadian itu memperkuat tekad Alec untuk berhenti total dari obat-obatan kimia farmasi yang selama ini ia konsumsi atas nama “dunia medis & kedokteran.”

Kehancuran bisnis farmasi

Menjelang akhir Agustus, Alec sudah hampir 3 minggu tidak mengkonsumsi obat-obatan kimia farmasi seperti yang ia rutinkan selama setahun sebelumnya.

Alhamdulillah, ia akhirnya bisa sembuh dari penyakit baru yang ditimbullkan oleh efek samping obat hipertensi yakni asam urat. Seperti kata seorang teman pemilik satu apotik, “ Obat farmasi itu menyembuhkan satu penyakit, tapi juga memunculkan penyakit-penyakit lain yang baru.”

Seorang mantan medical respresentative senior yang berputar haluan menjadi pedagang lontong sayur dan kebetulan menjadi langgganan makan malam Alec, menuturkan beberapa sebab obat farmasi itu berisko a.l. adalah

Di negara asal obat paten seperti AS, misalnya, obat dari bahan alami tidak bisa dipatenkan.

Alhasil perusahaan farmasi Paman Sam itu mencari akal yakni dengan memproduksi kandungan tiruan atau sintetis dari bahan-bahan alami yang diketahui berkhasiat obat. 

Nah, bahan-bahan sintetis itu pastilah membawa efek samping.

Ia mencontohkan Viagra yang pada mulanya merupakan hasil sitetis untuk obat hipertensi. 


Tapi karena efek sampingnya berupa pengerasan otot akibat melebarnya pembuluh darah, Viagra akhirnya dijadikan obat kejantanan pria.

Selain itu, kata seorang teman di Priok, saat ini di negara-negara maju mulai dikembangkan teknik self-healing, setiap jasmani manusia punya potensi untuk mengobati dirinya sendiri dari dalam.

Dalam dua dekade ke depan, industri farmasi diperkirakan akan kehilangan bisnisnya. 

Pesta pora kimia farmasi akan segera berakhir, seiring meningkatnya kesadaran publik untuk kembali ke alam asli, bukan sintetik.

Apalagi dengan hadirnya BPJS, ruang gerak para medrep semakin sempit dalam memasarkan produk-produk obat farmasinya, baik ke dokter langsung ataupun via RS.

Hari pertama serangan asam urat dimulai dengan terjadinya pembengkakan pada sendi jempol kaki kanan, sementara kaki kiri masih terasa  normal.

 

Kompres bagian yang sakit atau bengkak dengan handuk yang dicelupkan ke air panas, untuk meredakan nyeri atau senat-senut yang sangat mengganggu.

 

Bisa juga dengan merendam bagian yang terkena asam urat dengan air hangat


Menu selama masa pembersihan dalam, bawang putih, bawang merah, rebusan tempe dan sambel


Menu selama masa pembersihan (cleansing):  irisan tomat, cabe, daun pepaya, nasih putih, tempe


Menu selama cleansing period: nasi putih, rebusan daun pepaya, cabe hijau giling


Warna air seni selama cleansing period mirip air bir


Air seni mulai mengkristal setelah didiamkan dua hari


Volume air seni dalam semalam selama masa pembersihan


Tips Agustus Merdeka

Menjelang minggu terakhir bulan Agustus, Alec akhirnya sudah bisa berjalan, tanpa bantuan tongkat. Dan, bengkak di persendianpun sudah mulai kempes.

Tipsnya sederhana saja, minum air rebusan daun jeruk dan kadang daun salam setiap hari disertai dengan mengurangi makan, sehingga pada saat perut kosong, minum air putih sebanyaknya dan sebisanya.

Untuk tujuan dokumentasi, Alec tak lupa mengabadikan setiap perkembangan yang terjadi dari hari ke hari, termasuk memantau kualitas air seni (gambar).

Pada minggu pertama terserang asam urat, Alec terpaksa buang air kecil menggunakan botol air mineral. Jumlah yang terkumpul rata-rata dua botol air mineral ukuran besar tiap hari. Dengan volume ini, diuretika alami dianggap sukses.

Pernah suatu kali Alec sengaja mendiamkan air seninya selama dua hari di botol, air yang warnanya mirip minuman bir itu, sebahagian mulai mengkristal (gambar).

Itu juga menunjukkan bahwa diuretika menggunakan air daun jeruk telah  berhasil merontokkan sisa-sisa asam urat dari dalam tubuh dan membuangnya lewat saluran ekresi (kencing & BAB).

Selama fase pembersihan itu, Alec membatasi menu makanan ke sayuran hijau dan tanaman kaya vitamin C seperti cabe dan tomat.

Ini penting terutama di awal-awal serangan, terutama untuk mengurangi rasa sakit.

Vitamin C terkenal sebagai anti-oksidan paling bagus, dibanding jika Alec harus makan obat farmasi sekelas ibuprofen, misalnya,  hanya sekadar untuk penghilang rasa sakit.

Bagian yang bengkak atau sakit agar direndam dalam air hangan atau dikompres dengan air panas untuk meredakan senat-senut pada persendian. (lihat gambar).  

Dan jangan diurut, karena kristal pada persendian dikhawatirkan bisa melukai jaringan dalam kulit.

Cara di atas lebih baik daripada harus minum obat pereda asam urat itu sendiri seperti Allopurinol, pemberian teman medrep, yang hingga ia pulih obat itu tak pernah disentuh.

Prinsipnya sederhana, “Obat farmasi umumnya terbuat dari bahan sintetis kimiawi dan pasti membawa efek samping.”

Naskah ini ditulis pada 29 Agustus 2015, setelah hampir tiga minggu Alec terserang asam urat, mulai bisa kembali berjalan setelah melewati malam-malam yang penuh dengan senat-senut, kesakitan persendian yang luar biasa, buang air kecil & besar terpaksa dengan alat bantu.

Begitu tidak enaknya penyakit yang namanya asam urat itu, jangan sampai ada karib kerabat dan handai tolan yang mengalami hal serupa.  Dan kalau itu terjadi, ikuti saja tips pemulihan di atas. Dan, jangan lupa baca bukunya! 

Hambalang, 29 Agustus 2015

Ali Cestar
Testimonial sharing: 0821-55315751 (no SMS)