Translate

Senin, 25 Juli 2016

Tradisi makan ala Bajamba di tanah Sunda



Peluh bercucuran membasahi sekujur tubuhnya. Sesekali ia mengusap muka dengan baju kaos yang baru dipakainya. Dengan hanya kaos dalam, ia dengan santainya duduk merapat bersama pada hadirin yang lain. Seakan tak khawatir  dengan gelar burket disandangkan pada dirinya karena hanya mengenakan kaos kutang, ia justru langsung menyuap nasi dan lauk-pauk yang digelar di atas daun di depannya.

Undangan sudah banyak yang hadir, namun beberapa guru masih ditunggu kedatangan mereka.

HAMBALANG (Persbiro): Hari itu, Minggu 24 Juli 2016, para guru SMK berkumpul di sekolah untuk mengadakan rapat guna membahas teknis pembagian tugas penyusunan administrasi seperti yang disyaratkan silabus.

Acara yang sedianya dijadwalkan dimulai pukul 08.00 WIB pagi itu, akhirnya molor hingga dua jam karena beberapa tendik (tenaga pendidik) honorer lainnya belum datang.

Sambil menunggu, ada yang berinisiatif membersihkan lapangan, memotong rumput dan memindahkan bebatuan ke lahan kosong yang tak ada rerumputannya.

Mungkin karena begitu bersemangatnya memotong rumput, Pak Hayen, demikian panggilannya, asyik melibas rerumputan tak peduli suara-suara lain, karena hedfon terpasang di kepalanya. Bahkan, penampilannya itu dilengkapi dengan kacamata hitam gaya alias reiben.

Rapat baru bisa dimulai pukul 10.00 WIB, dan seperti biasa, penuh dengan berbagai wacana dan rencana, diselingi canda tawa dan sedikit perdebatan segala.

Menjelang siang, rapat dihentikan untuk istirahat makan siang dan sholat zuhur. Sejumlah murid yang sedari pagi sudah kerja bakti menyiapkan makan siang, mulai mondar-mandir di luar ruang rapat, seakan memberi isyarat, makan siang sudah siap.

Akhirnya diputuskan, makan siang dulu dengan asumsi agar sholatnya bisa lebih khusyuk karena perut sudah tidak keroncongan.

Di luar perkiraan saya, ternyata makan siang disajikan tidak ala French dinner (prasmanan) melainkan mirip seperti tradisi Makan Bajamba di Minangkabau.

Hanya saja, kali ini Makan Bajamba-nya tidak digelar di Sumbar, tapi di wilayah Jabar alias tanah Sunda.

Menurut catatan Persbiro, Desa Hambalang masuk dalam kawasan rencana pemekaran Kabupaten Bogor menjadi Bogor Timur. Ia berada dalam lingkup kecamatan Citeureup yang eksit tolnya menyatu dengan Cibinong.

Kawasan itu, dalam masterplan “Greater Jakarta & Cianjur” merupakan zona strategis di masa depan dan rencananya akan dilewati LRT untuk rute Bogor, Cibinong, Citeureup hingga ke Jakarta Utara, terutama Tanjung Priok, selain Bekasi Timur yang kini infrastrukturnya mulai dikerjakan.

Jadi jangan heran, kalau di Cibinong kini sedang dibangun apartemen pencakar langit karena kawasan ini dianggap titik strategis perluasan wilayah Jabodetabek dengan sasaran kawasan lumbung padi yakni, Cianjur, seiring dibangunnya rute Puncak Dua yang menghubungkan Bogor Timur dengan Cianjur dan Bekasi.

Sejak menetap di Hambalang, ini merupakan pengalaman Makan Bajamba yang kedua kalinya. Pertama kali terjadi tahun lalu, ketika masyarakat se-RT bergotong-royong menyangga pinggir kali yang longsor akibat hujan deras dengan menyusun bebatuan.

Kala itu, Makan Bajamba diprakarsai oleh para santri yang mondok dekat pinggir kali yang mengalami longsor tersebut.

Ada sedikit persamaan menu dari kedua momen ala Makan Bajamba itu, yakni goreng jengkol yang diiris-iris dan ikan teri. 

Mungkin karena dianggap saya dari Kota tak terbiasa dengan tradisi setempat, Kepala Sekolah, Pak Juju sempat melontarkan kata-kata, “Kita makan seadanya saja Pak Ali, nggak pakai piring, cukup di atas daun saja.”

Setelah melihat sajian yang terhidang di hadapan, saya langsung menjawab dengan spontan, “Justru yang seperti ini yang value-nya lebih tinggi, Pak. Mantap ini.”

Karena sempitnya waktu, saya tidak sempat secara oral menjelaskan bahwa sebetulnya Makan Bajamba adalah tradisi yang mengakar di kampung Ibu saya, Sumatera Barat sana.

Bedanya, di sana yang dibolehkan ikut Makan Bajamba hanyalah mereka yang sudah berumah tangga, sementara yang ini semua melebur dalam satu sajian, termasuk para guru dan murid SMK yang hadir.

Di Minangkabau, Makan Bajamba diyakini sebagai salah satu cara untuk mendekatkan hubungan emosional satu sama lain di tengah masyarakat.

Di sini, makan ala bajamba sepertinya lebih menimbang kepada faktor efisiensi. Namun semangat kebersamaan yang diusungnya relatif sama.

Dua tahun menghuni pondok di desa ini, Minggu pagi itu saya terbangun sudah menjadi guru di satu SMK.  Experience value yang luar biasa! Jangan tanya honornya berapa. Yang penting, ada!.


Ali Cestar
0821-55315751

Penulis adalah seorang tenaga pendidik honorer di SMK Almurqoniyah, Hambalang, Citeureup, Bogor.

 
Guru dan murid melebur dalam kebersamaan makan siang bersama (ber-jamba)

Anes, termasuk salah seorang murid kelas XI yang terkenal rajin membantu dewan guru dalam banyak kesempatan.

Penyesuain silabus dan administrasi belajar mengajar menjadi hal yang paling serius dibahas

Pak Emoh, salah seorang guru, sedang mempertontonkan cara memegang empat batu sekaligus.

Rev dan Met, siswa kelas XI asyik memindahkan puing dan kayu dari lapangan rumput
Pak Hayen, seorang guru SMK, dengan headphone dan rayban di jidatnya bergaya menunjukkan cara memotong dengan mesin pemotong rumput.
Pak Hayen boleh jadi lupa bahwa yang di hadapannya adalah makan siang bersama dan tetap berkaos kutang saat bersantap siang, sehingga dicandaain dengan istilah 'ada yang netes dari burket.'


Rabu, 23 Maret 2016

Lontong sayur Tuhan itu adanya di Jalan Pahlawan



Raut mukanya agak berkerut, mengindikasikan usianya yang mendekati kepala lima. Seperti biasa, Ni War dengan logat Pariaman-nya yang kental menanyakan apakah kami mau makan lontong sayurnya pakai telur atau tidak. Langsung kami jawab, iya, dengan harapan semoga telur bisa menambah kelezatan jajanan tersebut.

CITEUREUP (Persbiro): Untuk kesekian kalinya kami mampir ke tempat Ni War, meski tahu lontong sayur yang ia sajikan jauh dari standar ekspektasi pasar akan Lontong sayur Padang yang terkenal dengan gulai cubadak (nangka)-nya yang maknyus.

Dari kuahnya bisa ditaksir kadar kelapanya

Ni War, jualan lontong sayur selepas di-PHK dari pabrik

Gerobak ini sudah nongrong di situ sejak tujuh tahun lalu
Bukan bermaksud merendahkan, dari tampilan (lihat gambar) kuahnya yang super encer bisa ditebak bahwa sayur yang disajikan Ni War tak bisa dikategorikan gulai, mungkin lebih tepat disebut tumis cempedak atau nangka rebus.

Tapi itulah misteri suasana hati. Meski tahu makan di situ tak enak, tapi kami tetap mampir dan mengabaikan puluhan tempat jajanan lontong sayur Padang lainnya sepanjang jalan raya dari Citeureup hingga Cibinong atau hingga Sentul.

Kami bahkan mengabaikan lidah Minang kami yang terkenal kritis akan jajanan Masakan Padang dan sejenisnya.

Mungkin karena di situlah kelemahan kami, tidak bisa melihat pedagang kaki lima sepi pembeli.

Maklumlah, sebagai perantau Minang, kami punya latar belakang pernah berjualan di kaki lima.

Hanya satu saja harapan kami bahwa kami tidak sedang bertransaksi dengan Ni War dan dagangan lontong sayurnya, melainkan dengan Sang Maha Pemurah yang selalu berlaku lemah-lembut kepada setiap hamba-Nya.

Ni War bersikeras bahwa encernya gulai cubadak yang ia sajikan tak lepas dari rendahnya kualitas kelapa yang ia dapatkan.

Kami mengangguk-angguk saja tanda setuju meski dalam hati alasan itu sulit kami terima karena sumber tempat ia membeli kelapa sama dengan yang lainnya, Pasar Citeureup!

Lantas Ni War juga berdalih bahwa ia memang sengaja menyajikan sayur nangka lebih ke tumis ketimbang gulai karena pasar yang ditarget adalah masyarakat setempat yang notabene orang non-Minang.

Kembali kami mengangguk-angguk saja tanda setuju meski dalam hati tidak menerima.

Karena, lebih kurang 500 meter dari tempat Ni War juga ada Lontong Sayur Padang yang pelanggan terbanyaknya justru warga keturunan dan Batak, dan sayur yang dijadikan benar-benar gulai bukan tumis atau rebusan semata.

Kami memilih diam daripada harus bicara apa adanya yang boleh jadi akan menyakitkan di telinganya bahwa, “lontong sayur masakannya sama sekali tidak enak!”

Bahwa ia sudah berdagang lontong sayur sejak tujuh tahun yang lalu di tempat yang sama dengan gerobak yang sama, sudah menjelaskan fakta dengan sendirinya bahwa dagangannya tidak maju.

“Ambo dagang sejak 2009 setelah di-PHK dari pabrik. Tadinya ambo buruh pabrik. Daripada pesangon habis tak menentu, ambo pakai untuk modal jualan lontong sayur,” kata Ni War, asal Sungai Sarik, Pariaman ini menjawab Persbiro.

Alamaak! Pantesan langkah kami selalu terseret ke sini.

“Ya Tuhan, Engkau Maha Tahu keadaan kami,” lirih penulis sambil memencet tuts kibornya menyelesaikan naskah ini.

Tuhan kadang bekerja dengan cara misterius.

Siapa tahu lewat tulisan ini, banyak makhluk-makhluk berbudi yang tergerak hatinya untuk ingin mencicipi lontong sayur Ni War, sembari memberi masukan-masukan yang positif bagi dia.

Karena bagaimanapun suara pembeli adalah suara raja.

Tak jauh dari Polsek Citeureup arah ke Sentul atau di Jalan Pahlawan, ada klinik bernama Dokter Sutopo di kiri jalan.

Nah, Ni War berjualan di sebelang jalan klinik itu. (ac)


.

Sabtu, 12 Maret 2016

Kisah nyata: batu keluar di rumah Kajang Padati



Treng treng treng. Satu butir pasir berukuran ujung korek api jatuh mengelinding ke lubang toilet. Ajaib, pipis yang tadinya keluar sebesar lidi, kini mengalir deras seperti pipa yang baru lepas sumbatan. Rasa nyeri yang menghantui selama dua minggu itu serta merta hilang.

Di rumah inilah batu itu keluar dan jatuh ke lubang WC setelah menyebabkan nyeri selama hampir dua pekan

PADANG PANJANG (Persbiro): Menjelang akhir Pebruari 2016, Alec mengalami hal aneh pada dirinya. Setiap kali buang air kecil selalu disertai rasa nyeri pada saluran urin.

“Ah ini mungkin karena duduk terlalu lama di atas motor,” pikir Alec.

Sejak awal tahun Ia memang sering bolak balik antara Hambalang – Harapan Indah di Bekasi untuk satu pekerjaan membantu seorang kawan.

Karena berpikir ke arah itu, Alec mencoba senam duduk dan yoga. Tapi nyeri setiap pipis itu tetap masih saja terasa.

Parahnya, pada saat yang sama, sebelah kaki kiri membengkak dan sulit diajak berjalan.

Kemungkinan besar, kadar asam urat di dalam pembuluh darah sudah terlalu tinggi.

Alec teringat selama dua pekan terakhir sering makan sate padang dan gulai cincang hampir tiap hari berturut-turut.

Daging termasuk jenis makanan yang bisa memicu asam urat, selain kacang-kacangan.

Asam urat atau uric acid bersama zat lain seperti kalsium bisa membentuk kristal di dalam ginjal.

Inilah yang kemudian dikenal dengan batu ginjal. Ciri utama batu ginjal adalah nyeri saat buang air kecil dan sakit pinggang.

Batu ginjal juga bisa terbentuk karena terjadi peningkatan kepekatan pada urine karena kurang minum air putih.

Teringat akan kemungkinan adanya batu ginjal, berikut langkah-langkah yang diambil Alec:

Pertama. Meminum minyak sayur satu sendok pagi dan satu sendok sore selama tiga hari berturut-turut untuk melapangkan jalan pada pembuluh darah.

Alec, pencinta gaya hidup off the grid (OTG) di pondok kediamannya di Hambalang

Kedua. Meminum air rebusan daun kumis kucing pada pagi hari dan rebusan daun sirsak di sore hari untuk membersihkan pembuluh darah dari asam urat sebelum sempat mengkristal, selama tiga hari berturut-turut.

Pada tanggal 4 Maret, Alec harus terbang ke Padang untuk acara reuni SMP. Bersama dia, ikut seorang teman sesame alumni, Mendes, seorang salesman obat-obatan.

Sembari menunggu boarding di bandara, Alec iseng bertanya, “Ndes, kalau pipis terasa nyeri apa ya obatnya?”

Mendes dengan sigap menjawab kemungkinan besar itu adalah gejala batu ginjal. Sejumlah nama obatpun ia resepkan, baik untuk penghancur batu sekaligus peredam rasa sakit (pain killer).

“Saya masin simpan obat asam urat di rumah, sejak diresepkan dokter sampai sekarang tak pernah saya makan. Biasanya nyeri asam urat hilang sendiri jika makanan yang jadi pantangannya dijaga,” tutur Alec.

Sebagai seorang naturalis, Alec berusaha semaksimal mungkin menghindari obat-obatan farmasi karena sifatnya yang kimiawi dan sintetis.

Nyeri saat buang air kecil jelas bukan perkara enteng, bahkan sanggup menghilangkan keceriaan dari muka seseorang.

Sampai-sampai ada teman alumni yang bertanya, “Lec kok belakangan ini jarang bicara, ada apa?”

Yang jelas, batu ginjal bisa menghilangkan kegembiraan si pengidapnya.

Karena jauh dari rumah, ramuan herbal berupa rebusan daun kumis kucing dan daun sirsak, tak bisa ia teruskan.

Sebagai gantinya, Alec minum air putih sebanyak dan sebisa mungkin.

Karena 30 tahun tidak bertemu teman-teman sejak tamat SMP, malam minggu dilewatkan dengan ngobrol-ngobrol sambil tidur-tiduran hingga pukul 03.00 WIB pagi bersama teman-teman alumni yang ditempatkan di rumah penginapan bernama Kajang Padati.

Mungkin karena sudah terbiasa, menjelang subuh, Alec terbangun dengan kandung kemih penuh. Banyak teman bergelimpangan tidur di lantai.

Segera ia bangkit dan menuju kamar mandi yang terletak di bagian bawah rumah penginapan milik Pemkot Padang Panjang itu.

Di rumah itu terdapat empat kamar mandi yang dilengkapi fasilitas air hangat.

Alec tak berniat untuk mandi, hanya sekadar buang air kecil, bersih-bersih dan sekalian hendak berwudhu.

Yang terjadi berikutnya sungguh di luar dugaan!

Treng treng treng. Satu butir pasir berukuran ujung korek api jatuh mengelinding ke lubang toilet. 

Ajaib, pipis yang tadinya keluar sebesar lidi, kini mengalir deras seperti pipa yang baru lepas sumbatan. Rasa nyeri yang menghantui selama dua minggu itu serta merta hilang.

Wajahnya yang sedari kemarin bermuram durja, kini  langsung berubah ceria.

Sebagai rasa syukur, Alec segera bergegas menuju mushola, di mana sudah menanti seorang ustadz yang juga teman alumni siap mengimami sholat subuh berjamaah di Minggu dini hari itu.

Ternyata, bahwa air rebusan daun kumis kucing itu bisa membuang batu ginjal, bukan isapan jempol belaka, apalagi kalau diselingi dengan air rebusan daun sirsak.

Dan yang lebih penting lagi adalah, minum air putih banyak-banyak! (ac)


Kamis, 10 Maret 2016

Dari Ninja hingga ke Malin Kondang back to kampong with sarong



Enam orang bercadar naik ke atas panggung meliuk-liuk bak Ninja sedang beraksi diikuti lima Ninja lainnya di belakang. Uniknya, dari ke-11 Ninja yang muncul itu ada yang pakai rok panjang dan ada yang mengenakan celana jeans. Tak ada samurai dan tanpa katana. Mereka justru bernyanyi dan berjoget mengikuti irama orgen tunggal.

PADANG PANJANG (Persbiro): Itulah sekelumit pemandangan di atas panggung saat malam keakraban Reuni SMP Negeri 2 Padang tahun angkatan lulus 1986 digelar di Minang Fantasi (Mifan), Padang Panjang dari 5-6 Maret 2016.

Sebanyak 110 orang alumni yang mewakili setiap kelas dari total asumsi 40 siswa x 8 kelas = 320 orang hadir dalam acara itu. Sisanya, ada yang berhalangan tetap alias sudah wafat dan ada yang berhalangan urgensial serta ada yang tak tahu rimbanya.

Dari jumlah itu, hampir separuhnya datang dari luar kota Padang atau rantau seperti Jabodetabek, Jambi, Medan, Palembang dan Riau sementara sisanya merupakan warga tetap Kota Bengkuang yang berjuluk The Beloved City itu.

Dalam acara yang diadakan pada malam itu, tiap peserta dibagi ke dalam enam kelompok dan masing-masing kelompok diminta oleh panitia untuk membawakan acara yang berkaitan dengan penggunaan kain sarung karena tema reuni dari generasi yang berjuluk Sempeduo’86 itu adalah “back to kampong with sarong.”

Tak dipungkiri empat kelompok masuk kategori malas dan hanya mengandalkan musik  organ tunggal, namun tetap tak kalah heboh karena yang dibawakan adalah Poco-poco dan Tanjung Katung.

Ada juga yang menyajikan drama semi komedi berjudul Malin Kondang, yaitu Malin Kundang versi modern yang lupa bawa dongkrak ketika pulang dari rantau.  Peran Malin Kondang itu dimainkan oleh Satya Hidayat, Kepala PNM (Permodalan Nasional Madani), satu BUMN cabang Lahat, Sumsel.

Pria yang akrab dipanggil Q-Deich itu membawakan perannya dengan lucu sehingga penonton dibuat terpingkal-pingkal. Apalagi, alur cerita dibuat bebas, tak mesti persis dengan versi aslinya, Malin Kundang. Meski begitu, grup itu tampil paling lama dan kompak.

Dan uniknya, semua grup peserta wajib tampil dengan mengenakan sarung sebagai wardrobe utamanya, sebagai bukti kecintaan alumni kepada budaya asli Nusantara yang tak bisa dilepaskan dari peran dan fungsi kain sarung.

Pertemuan reuni dimulai dari registrasi kedatangan pada hari Sabtu 5 Maret di gerbang SMP Negeri 2 Padang, dilanjutkan dengan penyerahan bantuan berupa karpet shalat dari alumni untuk mushola sekolah dan foto bersama dengan para guru di halaman sekolah.

Acara kemudian dilanjutkan dengan foto bersejarah yang mengambil momentum di Jembatan Siti Nurbaya, Muara, Padang yang kemudian dilanjutkan dengan foto-foto bersama di tepi laut atau Taplau, ciri khas Kota Padang.

Setelah makan siang di sebuah restoran dekat Khatib Sulaiman, rombongan yang dibagi dalam dua bis itu, melanjutkan perjalanan ke Padang Panjang setelah sempat mampir di sebuah pom bensin di daerah Lubuk Buaya untuk menunaikan shalat Zhuhur.

Dr A.Z Agusfar, ahli kandungan dan persalinan yang menjadi kepala rombongan di bis pertama, tak henti-hentinya membuat banyolan yang mengocok perut, yang membuat perjalanan tak terasa jauh.

Pria berkumis dan berjenggot yang akrab dipanggil dengan “Dr. Ahmad” dan kini bertugas di RSIA Bunda Aliyah, Pondok Bambu, Jakarta Timur itu di kalangan sesama alumni dikenal sebagai figur yang luwes dan menyenangkan sejak masa sekolah.

Di Mifan, kelompok pria menghuni Rumah Kajang Padati sementara kelompok putri beristirahat di rumah gadang Rantau Pasisia tak jauh dari aula tempat acara digelar yang diawali dengan santap malam bermenu Kapau, Bukittinggi.

Dalam kesempatan itu, Ketua Pelaksana Reuni Sempeduo’86 H. Rahmi Rammon persiapan reuni dilakukan jauh-jauh hari sejak enam bulan terakhir dengan pola ‘hunting’ hingga ke daerah-daerah serta lewat pesan berantai dari mulut ke mulut.

“Kalau hanya mengandalkan kawan-kawan di Padang semata, tentu hasilnya tidak akan maksimal karena jumlah terbesar alumni justru tersebar di beberapa wilayah di luar kota Padang, termasuk Jabodetabek,” kata bos grup Gerfa yang akrab dipanggil dengan sebutan Jimon itu.

Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Alumni Sempeduo’86, Dian Surya Putra (akrab dipanggil DSP, red) bahwa pendataan awal dilakukan dengan mengumpulkan kawan-kawan alumni per masing-masing kelas sewaktu kelas satu.  Kelas 1H tercatat yang paling banyak terkumpul.

“Dari situ baru beredar informasi dari mulut ke mulut, hunting perorangan serta melibatkan paguyuban perantauan seperti IKM (Ikatan Keluarga Minang, red), organisasi sosial dan ormas-ormas,” kata DSP, pejabat aktif di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di Kabupaten Bandung.

Begitu berharganya waktu yang tersisa, tak satupun dari para alumni yang melewatkan malamnya dengan tidur lelap. Mereka umumnya hanya tidur-tidur ayam, ngobrol sambil berbaring dan berbagi cerita sembari menunggu waktu Subuh.

Setelah 30 tahun tak bertemu, tentu banyak cerita yang mengalir dari mulut tiap alumni, kenangan pahit ataupun manis bukanlah masalah. Setiap kenangan adalah indah di mata masing-masing mereka.

Minggu 6 Maret menjelang siang, rombongkan kembali ke Padang. Dan setelah makan siang di satu RM di Ujung Gurun, para alumni kembali ke sekolah SMP Negeri 2 untuk berpisah lagi. (ac)

 
Tak kehabisan akal, kelompok ini menyulap sarung menjadi pakaian Ninja

Bakodak ria di Jembatan Siti Nurbaya

Foto bersama di Taplau

Kelompok Malin Kondang, paling lama & paling kompak
Paling kiri, Ketua Alumni Sempeduo'86, Dian Surya Putra

Kelompok campur sari, siapa saja yang suka selfie
paling tengah depan, Ketua Pelaksana Reuni, Rahmi Rammon
paling kiri, Zulnasri, paling kanan, Oktia Hendra

Berfoto sejenak sebelum meninggalkan Mifan

Inilah bis yang membawa rombongan sejuta kenangan itu

Lima anggota kelas 1H, kelas terbanyak yang hadir reuni
Dari kiri ke kanan, Cecep Danang Saputra, Ali Cestar, Meri Elmira, Pendri, Bambang Eko Laksono
Trio putra guru SMP Negeri 2 Padang
Dari kiri ke kanan, Andri Yunidal, Willy Suhairi, Ali Cestar
sumber: http://www.persbiro.com/index.php?action=fullnews&id=293
  



Kamis, 17 Desember 2015

Tips: 5 langkah menuju sufisiensi cabe



Tips: 5 langkah menuju sufisiensi cabe

Dengan garpu besar trisulanya, Alec mengorek batang cabe yang mulai merangas karena kalah bersaing dengan gulma sekelilingnya dalam memperebutkan gizi tanah. Desember tahun ini hujan turun berkepanjangan sehingga rumput-rumput liar tumbuh merajalela. Semua pohon cabe yang mulai berbuah itu, siap dipindahkan ke polibeg.  Mau tak mau, polibeg menjadi alternatif terbaik untuk menyelamatkan tanaman tersebut.

Dari 100 batang yang ia tanam enam bulan lalu, hampir separuhnya mati karena kemarau. Sisanya masih bertahan, namun merangas. Cuaca merupakan dilema dalam pertanian cabe. 

Betapa tidak, di musim kemarau, boro-boro menyirami cabe, orangpun kesulitan air. Di musim hujan, cabe justru mudah mati karena akarnya membusuk akibat kebanyakan air.

Untuk mengantisipasi masalah itu, polibeg dan polinet menjadi solusi.Dengan polibeg, petani tak perlu khawatir cabenya dikeroyok rumput liar, kekeringan atau kelebihan air. Selain itu, polibeg juga irit lahan. Artinya, Anda tak perlu lahan luas untuk bertanam cabe.

Sementara polinet berfungsi sebagai atap yang menyaring curah hujan agar tak menggenangi pohon cabe secara berlebihan sekaligus mengurangi terik panas matahari di siang hari. Artinya, polinet bisa diandalkan sebagai katalisator iklim sesuai kebutuhan tanaman cabe.

Kenapa bertanam cabe itu perlu? Karena orang Indonesia rata-rata doyan mengkonsumsi cabe. Satu keluarga paling tidak menghabiskan 1 ons cabe per hari. Itu berarti 30 ons atau 3 kg per bulan.

Menjelang pergantian tahun dari 2015 ke 2016, ibu-ibu rumah tangga menjerit karena harga cabe melesat naik dan di sejumlah daerah menembus Rp40 ribu per kg. Bahkan di Batam, cabe dijual di atas Rp50 ribu per kg.

Dengan kebutuhan konsumsi rumah tangga akan cabe rata-rata 3 kg per bulan saja, paling tidak biaya yang harus dikeluarkan untuk cabe adalah 3 x 40 = Rp120.000 per bulan. Itu baru cabe saja, belum bawang merah dan bawang putih yang harganya tak jauh beda dari cabe.

Dalam kondisi seperti itu, kata-kata semisal swasembada (self-supporting) sudah tak lagi mandraguna. Yang dibutuhkan adalah rumah tangga yang mandiri akan cabe (self-sufficient).

Sufisiensi cabe merupakan hal yang mendesak dicanangkan tiap rumah tangga, tanpa perlu menunggu kebijakan pemerintah apapun soal harga dan produksi cabe nasional.

Berikut langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam rangka menuju keluarga mandiri (self-sufficent) cabe seperti pada gambar;

1. Menyiapkan bibit cabe dengan cara menaburi biji cabe yang sudah tua ke polibeg atau mengambil yang sudah jadi dari kebun cabe yang mulai ditumbuhi rumput liar.

Alec mencabut pohon cabe dari kebun yang mulai ditumbuhi semak, untuk dipindahkan ke polibeg.
2. Sebelum dibubuhi pupuk kandang, polibeg agar diisi dengan tanah netral atau tanah merah yang sudah digemburkan. Ini penting agar akar dan batang bisa berkembang secara leluasa.


3. Biasakan memasak dengan tungku menggunakan  kayu bakar. Selain hemat biaya, arang yang dihasilkan tungku juga bermanfaat untuk mencegah hama hinggap dan berkembang di daun tanaman termasuk cabe selain menghilangkan daya tarik pupuk kandang terhadap rayap yang kerap memakan akar tanaman.

Alec menaburi arang tungku ke tiap daun termasuk cabe, papaya dan pare yang rentan terkena hama daun. Arang merupakan senjata ampuh untuk menangkis serangan hama daun.
4. Siapkan sebidang lahan lebih kurang 2x2 meter yang sudah diteduhi oleh polinet berukuran sama untuk mengontrol curah hujan dan teriknya panas yang bisa mengganggu pertumbuhan pohon cabe.

5. Taruh pohon polibeg cabe di bidang yang sudah diteduhi polinet. Bidang tersebut usahakan lebih tinggi dari lutut untuk menghindari kemungkinan terinjak, karena pohon cabe terkenal rentan benturan dan batangnya mudah patah.


Selesai! Anda tinggal menyusun beberapa polibeg cabe secara proporsional di bidang tersebut. Untuk ukurang 4 m2, bisa muat sedikitnya 20 pohon atau polibeg dengan susunan 4 baris dengan 5 pohon per barisnya (lihat gambar).


 Untuk menambah kapasitas penanaman, Anda tinggal mengulangi semua langkah tersebut di atas dan menyiapkan tempat yang mamadai sesuai kapasitas yang diinginkan. Selamat bercocok tanam!

Ali Cestar
Pemerhati masalah pertanian tinggal di Hambalang, Bogor.