Translate

Rabu, 23 Maret 2016

Lontong sayur Tuhan itu adanya di Jalan Pahlawan



Raut mukanya agak berkerut, mengindikasikan usianya yang mendekati kepala lima. Seperti biasa, Ni War dengan logat Pariaman-nya yang kental menanyakan apakah kami mau makan lontong sayurnya pakai telur atau tidak. Langsung kami jawab, iya, dengan harapan semoga telur bisa menambah kelezatan jajanan tersebut.

CITEUREUP (Persbiro): Untuk kesekian kalinya kami mampir ke tempat Ni War, meski tahu lontong sayur yang ia sajikan jauh dari standar ekspektasi pasar akan Lontong sayur Padang yang terkenal dengan gulai cubadak (nangka)-nya yang maknyus.

Dari kuahnya bisa ditaksir kadar kelapanya

Ni War, jualan lontong sayur selepas di-PHK dari pabrik

Gerobak ini sudah nongrong di situ sejak tujuh tahun lalu
Bukan bermaksud merendahkan, dari tampilan (lihat gambar) kuahnya yang super encer bisa ditebak bahwa sayur yang disajikan Ni War tak bisa dikategorikan gulai, mungkin lebih tepat disebut tumis cempedak atau nangka rebus.

Tapi itulah misteri suasana hati. Meski tahu makan di situ tak enak, tapi kami tetap mampir dan mengabaikan puluhan tempat jajanan lontong sayur Padang lainnya sepanjang jalan raya dari Citeureup hingga Cibinong atau hingga Sentul.

Kami bahkan mengabaikan lidah Minang kami yang terkenal kritis akan jajanan Masakan Padang dan sejenisnya.

Mungkin karena di situlah kelemahan kami, tidak bisa melihat pedagang kaki lima sepi pembeli.

Maklumlah, sebagai perantau Minang, kami punya latar belakang pernah berjualan di kaki lima.

Hanya satu saja harapan kami bahwa kami tidak sedang bertransaksi dengan Ni War dan dagangan lontong sayurnya, melainkan dengan Sang Maha Pemurah yang selalu berlaku lemah-lembut kepada setiap hamba-Nya.

Ni War bersikeras bahwa encernya gulai cubadak yang ia sajikan tak lepas dari rendahnya kualitas kelapa yang ia dapatkan.

Kami mengangguk-angguk saja tanda setuju meski dalam hati alasan itu sulit kami terima karena sumber tempat ia membeli kelapa sama dengan yang lainnya, Pasar Citeureup!

Lantas Ni War juga berdalih bahwa ia memang sengaja menyajikan sayur nangka lebih ke tumis ketimbang gulai karena pasar yang ditarget adalah masyarakat setempat yang notabene orang non-Minang.

Kembali kami mengangguk-angguk saja tanda setuju meski dalam hati tidak menerima.

Karena, lebih kurang 500 meter dari tempat Ni War juga ada Lontong Sayur Padang yang pelanggan terbanyaknya justru warga keturunan dan Batak, dan sayur yang dijadikan benar-benar gulai bukan tumis atau rebusan semata.

Kami memilih diam daripada harus bicara apa adanya yang boleh jadi akan menyakitkan di telinganya bahwa, “lontong sayur masakannya sama sekali tidak enak!”

Bahwa ia sudah berdagang lontong sayur sejak tujuh tahun yang lalu di tempat yang sama dengan gerobak yang sama, sudah menjelaskan fakta dengan sendirinya bahwa dagangannya tidak maju.

“Ambo dagang sejak 2009 setelah di-PHK dari pabrik. Tadinya ambo buruh pabrik. Daripada pesangon habis tak menentu, ambo pakai untuk modal jualan lontong sayur,” kata Ni War, asal Sungai Sarik, Pariaman ini menjawab Persbiro.

Alamaak! Pantesan langkah kami selalu terseret ke sini.

“Ya Tuhan, Engkau Maha Tahu keadaan kami,” lirih penulis sambil memencet tuts kibornya menyelesaikan naskah ini.

Tuhan kadang bekerja dengan cara misterius.

Siapa tahu lewat tulisan ini, banyak makhluk-makhluk berbudi yang tergerak hatinya untuk ingin mencicipi lontong sayur Ni War, sembari memberi masukan-masukan yang positif bagi dia.

Karena bagaimanapun suara pembeli adalah suara raja.

Tak jauh dari Polsek Citeureup arah ke Sentul atau di Jalan Pahlawan, ada klinik bernama Dokter Sutopo di kiri jalan.

Nah, Ni War berjualan di sebelang jalan klinik itu. (ac)


.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar