Raut mukanya agak berkerut,
mengindikasikan usianya yang mendekati kepala lima. Seperti biasa, Ni War dengan logat
Pariaman-nya yang kental menanyakan apakah kami mau makan lontong sayurnya
pakai telur atau tidak. Langsung kami jawab, iya, dengan harapan semoga telur
bisa menambah kelezatan jajanan tersebut.
CITEUREUP (Persbiro): Untuk
kesekian kalinya kami mampir ke tempat Ni War, meski tahu lontong sayur yang ia
sajikan jauh dari standar ekspektasi pasar akan Lontong sayur Padang yang terkenal dengan gulai cubadak
(nangka)-nya yang maknyus.
Dari kuahnya bisa ditaksir kadar kelapanya |
Ni War, jualan lontong sayur selepas di-PHK dari pabrik |
Gerobak ini sudah nongrong di situ sejak tujuh tahun lalu |
Bukan bermaksud merendahkan,
dari tampilan (lihat gambar) kuahnya yang super encer bisa ditebak bahwa sayur
yang disajikan Ni War tak bisa dikategorikan gulai, mungkin lebih tepat disebut
tumis cempedak atau nangka rebus.
Tapi itulah misteri suasana
hati. Meski tahu makan di situ tak enak, tapi kami tetap mampir dan mengabaikan
puluhan tempat jajanan lontong sayur Padang
lainnya sepanjang jalan raya dari Citeureup hingga Cibinong atau hingga Sentul.
Kami bahkan mengabaikan lidah
Minang kami yang terkenal kritis akan jajanan Masakan Padang dan sejenisnya.
Mungkin karena di situlah
kelemahan kami, tidak bisa melihat pedagang kaki lima sepi pembeli.
Maklumlah, sebagai perantau
Minang, kami punya latar belakang pernah berjualan di kaki lima.
Hanya satu saja harapan kami
bahwa kami tidak sedang bertransaksi dengan Ni War dan dagangan lontong
sayurnya, melainkan dengan Sang Maha Pemurah yang selalu berlaku lemah-lembut
kepada setiap hamba-Nya.
Ni War bersikeras bahwa
encernya gulai cubadak yang ia sajikan tak lepas dari rendahnya kualitas kelapa
yang ia dapatkan.
Kami mengangguk-angguk saja
tanda setuju meski dalam hati alasan itu sulit kami terima karena sumber tempat
ia membeli kelapa sama dengan yang lainnya, Pasar Citeureup!
Lantas Ni War juga berdalih
bahwa ia memang sengaja menyajikan sayur nangka lebih ke tumis ketimbang gulai
karena pasar yang ditarget adalah masyarakat setempat yang notabene orang
non-Minang.
Kembali kami
mengangguk-angguk saja tanda setuju meski dalam hati tidak menerima.
Karena, lebih kurang 500
meter dari tempat Ni War juga ada Lontong Sayur Padang yang pelanggan
terbanyaknya justru warga keturunan dan Batak, dan sayur yang dijadikan benar-benar
gulai bukan tumis atau rebusan semata.
Kami memilih diam daripada
harus bicara apa adanya yang boleh jadi akan menyakitkan di telinganya bahwa,
“lontong sayur masakannya sama sekali tidak enak!”
Bahwa ia sudah berdagang
lontong sayur sejak tujuh tahun yang lalu di tempat yang sama dengan gerobak
yang sama, sudah menjelaskan fakta dengan sendirinya bahwa dagangannya tidak
maju.
“Ambo dagang sejak 2009
setelah di-PHK dari pabrik. Tadinya ambo buruh pabrik. Daripada pesangon habis
tak menentu, ambo pakai untuk modal jualan lontong sayur,” kata Ni War, asal
Sungai Sarik, Pariaman ini menjawab Persbiro.
Alamaak! Pantesan langkah
kami selalu terseret ke sini.
“Ya Tuhan, Engkau Maha Tahu
keadaan kami,” lirih penulis sambil memencet tuts kibornya menyelesaikan naskah
ini.
Tuhan kadang bekerja dengan
cara misterius.
Siapa tahu lewat tulisan ini,
banyak makhluk-makhluk berbudi yang tergerak hatinya untuk ingin mencicipi
lontong sayur Ni War, sembari memberi masukan-masukan
yang positif bagi dia.
Karena bagaimanapun suara pembeli adalah suara raja.
Tak jauh dari Polsek
Citeureup arah ke Sentul atau di Jalan Pahlawan, ada klinik bernama Dokter
Sutopo di kiri jalan.
Nah, Ni War berjualan di
sebelang jalan klinik itu. (ac)
.