Translate

Minggu, 31 Mei 2015

Tongkat kayu dari Tanah Surga



Selamat jalan, Kawan. Aku yakin singkong di Tanah Surga jauh lebih lezat dan gurih.Tapi waktuku belum tiba. Ada saatnya kita akan menikmati sajian ubi kayu bersama-sama di atas sana, kalau Tuhan mengizinkan.

JAKARTA (Persbiro): Tiga bulan terakhir, jalan raya menuju Tanjung Priuk relatif lengang dari truk-truk kontainer, moda angkutan yang kerap dituding sebagai biang kerok kemacetan. Itu pertanda pergerakan bongkar muat barang di pelabuhan  yang lazim disebut Priok itu mulai menurun.

Hal itu sekaligus menjadi indikator bahwa ekonomi mengalami downturn atau kelesuan, terlihat dengan tanda-tanda rendahnya pertumbuhan di hampir semua bidang industri, terutama logistik.  Karena, hampir semua sektor membutuhkan manajemen.

Akibat kelesuan itu, konon kabarnya, sekitar 1.300 unit truk terpaksa ditarik leasing karena default alias wanprestasi dalam cicilan kredit.

Proyeksi bisnis pengusaha truk sepertinya meleset dalam membaca pergerakan bisnis yang erat kaitannya dengan mata rantai pasokan itu, sebagai operator pengangkutan kontainer.
 
Akibatnya, banyak truk menganggur karena tidak ada muatan padahal sudah terlanjur ekspansi dengan menambah armada baru.

Dalam asumsi kasar saja, jika satu perusahaan mengoperasikan 10 armada baru, maka paling tidak ada 130 perusahaan truk terancam bakal bangkrut tahun ini.

Lesunya usaha logistik menyiratkan satu hal. distribusi kebutuhan pokok menjadi sektor yang paling terancam dengan serius.

Apalagi, bila sudah menyangkut sembako, bagi penduduk perkotaan hal itu merupakan indikator yang memprihatinkan, mengingat tingginya ketergantungan kota pada distribusi logistik terutama ke pasar-pasar tradisional, supermarket, minimarket hingga ke warung-warung kecil dekat rumah.

Jika ancaman seperti itu benar-benar terjadi, risiko sosialnya jauh lebih besar lagi. Sulit dibayangkan apa yang bisa dilakukan oleh warga kota yang kelaparan karena tidak mendapat pasokan pangan.

Orang mungkin bisa  berkompromi dengan tunggakan kredit, tapi kalau dengan perut? Punya uang banyak, harta melimpah tak ada artinya kalau bahan pangan susah diperoleh.

Skenario terburuk adalah penjarahan masal  bahan makanan di tempat-tempat yang menjual atau menyimpan sembako temasuk kios, warung, minimarket, supermarket hingga hipermarket.

“Ah sudahlah, itu hanya pikiran buruk dari seorang yang sedang dihinggapi mental skeptis,” batin saya sambil mengayunkan pacul, saat menghabiskan waktu Sabtu pagi di kebun menanam bibit singkong dari potongan dua batang yang kemarin baru dipanen.

Singkong selain khasiatnya yang multiguna juga berbau filosofis asli 
yang mengakar di negeri yang berjuluk Tanah Surga ini


Tanaman yang lazim juga disebut dengan ubi kayu ini memiliki umbi yang kaya dengan vitamin dan mineral yang sesuai dengan kebutuhan harian manusia dalam menjalankan aktivitas rutin yang berat seperti berani dan berladang 

Singkong dalam kadar tertentu juga mengandung sianida yang berbahaya bagi tubuh manusia. Razun itu bisa laruti di dalam air, karena itu sebelum dimasak singkong hendaklah dicuci dan direndam air terlebih dulu. Makan singkong mentah adalah perbuatan konyol.

Banyak varian sajian mewah yang melibatkan singkong di dalamnya. Yang paling simper adalah ditaburi garam atau gula merah di atas singkong yang direbus dengan sangat empuk. Sensasinya di lidah, luarrr biasa!
 
Itulah uniknya singkong. Batangnya bisa dipotong-potong dan tetap tumbuh! Dalam perhitungan saya, singkong merupakan solusi paling logis untuk menangani krisis pangan di negeri ini.

Selain itu, pemerintah sudah siap dengan worse-case scenario ini, terbukti dengan adanya kampanye penggalakan makanan singkong secara masif, bahkan sampai mewajibkan menu singkong dalam kegiatan-kegiatan resmi pemerintah dan rapat-rapat terkait PNS,

Saya jadi teringat dengan syair lagu Koes Ploes yang populer di era 1970-an berikut ini,

“Bukan lautan, hanya kolam susu,. Kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada badai tiada topan kau temui. Ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman.”

Lamunan saya buyar seketika, tatkala ada SMS yang mengabarkan bahwa seorang teman alumni satu kelas di SMA mendadak meninggal dunia karena serangan jatung.

Kawan alumni tersebut adalah seorang trainer logistik senior di kawasan Jakarta Utara.  Dan terakhir, ia bekerja untuk satu perusahaan logistik terkemuka berbasis Singapura. Bidang yang ia tangani adalah warehousing, satu bidang dari sistem mata rantai pasokan yang SDM-nya masih terhitung minim di Tanah Air.

Bulan lalu saya sempat menanyakan alamatnya. Banyak hal yang bisa kami diskusikan, baik soal bisnis logistik, hal-hal teknis dalam lingkup supply chains & sistem pergudangan, seputar alumni, tentang musik hingga ke masalah keyakinan dan spiritualitas.

Tapi, itulah Jakarta, tak mudah bagi sesorang mencari waktu longgar untuk berkunjung, apalagi untuk bercengkrama ngalor-ngidul. Akhirnya kami lebih banyak berdiskusi lewat media sosial.

Saya pikir, kawan itu beruntung karena tidak perlu menyaksikan, (kalaulah prediksi kelangkaan itu menjadi kenyataan) satu momen ketika sembako sulit didapat akibat gangguan pada sistem distribusi dan logistik di negeri berjuluk Tanah Surga ini, beserta implikasi negatifnya.

Ketika menyelesaikan naskah ini, saya dalam kondisi bokek, dan tentu saja tak nyaman untuk bergerak kemana-mana, termasuk walau hanya sekadar untuk melayat ke rumah duka di kawasan Rawamangun.

Dan dari pondok tempat saya bertafakur di Hambalang, saya hanya bisa memanjatkan doa untuknya dan sengaja menulis naskah ini sebagai in-memoriam khusus buat almarhum.

 “Selamat jalan, Kawan. Aku yakin singkong di Tanah Surga jauh lebih lezat dan gurih.Tapi waktuku belum tiba. Ada saatnya kita akan menikmati sajian ubi kayu bersama-sama di atas sana, kalau Tuhan mengizinkan.”

Sabtu 30 Mei 2015,
In memoriam sahabat istimewa Smanduo’89, Irwansyah Sofyan.

Ali Cestar
Pemerhati logistik tinggal di Hambalang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar